Koran.co.id - Berdasarkan data UNICEF pada 2023, jumlah perempuan di Indonesia yang menikah di bawah usia 18 tahun mencapai 25,53 juta. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-4 dunia dalam kasus perkawinan anak terbanyak. Tak hanya merenggut cita-cita anak, masalah ini juga mengancam kesehatan fisik dan mental mereka. Perkawinan usia muda sering kali menjadi pemicu timbulnya permasalahan lain, seperti kekerasan terhadap anak.
Guna mengatasi permasalahan ini, Classroom of Hope (COH) dan Gugah Nurani Indonesia (GNI) berkolaborasi melalui program Peer Counselor atau Konselor Sebaya.
Program Peer Counselor
Program ini bertujuan mencegah perkawinan usia dini melalui kelompok Peer Counselor. Anak-anak sering kali merasa sungkan untuk bercerita kepada orang tua atau guru Bimbingan Konseling (BK), sehingga perlu dibentuk konselor sebaya di sekolah. Peer Counselor adalah murid terpilih yang menjadi tempat aman bagi teman sebayanya untuk bercerita dan mengonsultasikan masalah, mulai dari keluarga, ekonomi, hingga hubungan sosial.
"Kondisi di sekolah ini beragam, sehingga masalah yang timbul pun beragam. Adanya Peer Counselor ini, masalah tersebut bisa diatasi sedikit demi sedikit agar mencegah hal-hal yang tidak kita inginkan," ucap Bapak Suhardian, Guru BK di SMPN Satap 4 Gangga.
Seleksi Peer Counselor
Gugah Nurani Indonesia melakukan pemilihan anggota Konselor Sebaya pada 19 Desember 2024. Dari proses ini, terpilih 12 murid dari dua sekolah: SMPN 2 Gangge (8 murid) dan SMPN Satap 4 Gangge (4 murid). Seleksi dilakukan berdasarkan pengisian kuisioner dan diskusi bersama pihak sekolah.
Pelatihan Peer Counselor
Untuk mencapai tujuan program, para Peer Counselor menjalani pelatihan peningkatan kapasitas selama 5 hari pada 24–28 Februari 2025 di Lombok Utara. Pelatihan ini difasilitasi oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Nusa Tenggara Barat.
Materi yang diajarkan mencakup konsep Youth Circle, tanggung jawab dan kode etik fasilitator anak, manajemen konflik, inklusivitas, serta penanganan topik sensitif. Ada juga sesi simulasi untuk menghadapi situasi nyata.
“Semoga teman-teman bisa bercerita tentang masalah di rumah dan di sekolah, dan semoga kami bisa bantu menyelesaikannya,” ujar Cinta, salah satu anggota Peer Counselor.
Selain itu, peserta juga diajak mengidentifikasi masalah-masalah yang berpotensi mengganggu proses belajar siswa dari lingkungan keluarga maupun masyarakat. Mereka belajar memahami berbagai karakter teman sebaya yang akan dihadapi selama menjalankan program ini.
Peserta juga diminta mengevaluasi proses fasilitasi dan merancang strategi berkelanjutan agar program ini dapat terus berjalan di lingkungan komunitas.
“Kegiatan ini seru dan bermanfaat, saya bertemu teman baru dan belajar hal-hal baru,” ungkap Naila, anggota Peer Counselor lainnya.
Pelatihan ini berhasil meningkatkan kepercayaan diri para Peer Counselor serta memperkuat pemahaman mereka akan peran dan tanggung jawab sebagai agen perubahan. Melalui program ini, COH dan GNI berharap dapat membantu mencegah pernikahan usia muda di Lombok.