Jakarta, DKI Jakarta - Senin, 11 Agustus 2025 – Polemik penarikan royalti musik yang belakangan ramai di Indonesia turut mengundang perhatian musisi senior Ikang Fawzi. Ia menilai, permasalahan ini bermuara pada kinerja Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dinilai masih kurang transparan dan belum sepenuhnya profesional.
Menurut Ikang, lembaga pengelola royalti seharusnya mampu menjalankan tugas secara terbuka, terukur, dan komunikatif, sehingga konflik dengan pengguna komersial bisa dihindari.
“Kalau profesional, digital, dan transparan, nggak akan terjadi kisruh seperti ini,” kata Ikang dalam keterangannya, Minggu (10/8/2025).
Musik Harus Menyenangkan, Bukan Jadi Sumber Perselisihan
Bagi pelantun Preman itu, musik adalah medium kebahagiaan. Ia menyayangkan bila karya seni justru memicu ketegangan akibat masalah administratif.
“Musik itu bikin happy kalau nggak ada yang salah,” tegasnya.
Ikang juga menegaskan bahwa royalti merupakan hak yang wajib dihargai. Ia memberi perumpamaan, “Orang ke WC saja bayar, apalagi ciptaan orang. Tapi tarifnya harus adil dan komunikasinya elegan.”
LMKN Perlu Perbaiki Pendekatan
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, LMKN bertugas menarik dan menyalurkan royalti dari pihak-pihak yang memanfaatkan musik secara komersial, seperti hotel, restoran, kafe, dan penyelenggara konser.
Namun, Ikang menilai metode penarikan dan pendekatan terhadap para pelaku usaha sering kali membuat suasana tegang.
“Aku nggak punya hak buat malak orang. Kalau caranya begitu, ya nggak nyaman,” ujarnya.
Ikang berharap pemerintah meninjau ulang kebijakan royalti agar sejalan dengan perkembangan industri musik digital. Ia juga mendorong LMKN memperkuat tata kelola, pendataan, serta komunikasi yang lebih humanis.
“Kalau semuanya rapi, musisi senang, pelaku usaha nyaman, dan industri musik bisa maju,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di
Koran.co.id
0 Komentar