Jakarta, DKI Jakarta - Rabu, 20 Agustus 2025 — Setiap kali bulan Safar memasuki pekan terakhir, sebagian masyarakat Indonesia mengenal istilah Rebo Wekasan. Hari Rabu terakhir di bulan ini dipercaya sebagai waktu turunnya 320 ribu bala atau musibah. Tidak heran, banyak yang kemudian melakukan doa bersama, salat sunnah, hingga sedekah untuk menolak bala.
Namun, benarkah keyakinan itu memang berasal dari ajaran Islam?
Asal Usul Keyakinan
Sejarah menyebutkan bahwa keyakinan ini berakar dari kitab-kitab tasawuf klasik. Salah satunya adalah Kanz al-Najah wa al-Surur karya Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki. Dalam kitab tersebut dijelaskan, pada Rabu terakhir bulan Safar, Allah menurunkan bala dalam jumlah besar.
Kitab lain, Fathul Malik al-Majid karya Syekh Ahmad bin Umar Ad-Dairabi, juga memuat ajaran serupa. Karena itu, sebagian masyarakat kemudian menjadikannya tradisi yang dikenal sebagai Rebo Wekasan.
Islam Menjawab Mitos Safar
Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah ï·º menegaskan:
“Tidak ada penyakit menular (yang terjadi dengan sendirinya), tidak ada kesialan burung hantu, dan tidak ada kesialan bulan Safar.”
Hadits ini menjadi dasar bahwa Safar bukan bulan sial, dan anggapan turunnya bala pada waktu tertentu tidak memiliki sandaran syariat.
Bagaimana Sikap Umat Islam?
Banyak ulama sepakat, menjadikan salat Rebo Wekasan sebagai ibadah khusus adalah bid’ah karena tidak pernah dicontohkan Rasulullah ï·º. Namun, jika umat Islam ingin memperbanyak salat sunnah mutlak, doa, sedekah, dan amal saleh pada hari itu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, maka hal tersebut tetap diperbolehkan.
Tradisi Rebo Wekasan telah lama hidup di tengah masyarakat, tetapi keyakinan tentang turunnya 320 ribu bala pada hari itu tidak memiliki dalil sahih. Islam mengajarkan bahwa tidak ada bulan yang membawa sial, termasuk Safar. Yang terpenting bagi umat Muslim adalah memperbanyak amal baik dan doa perlindungan kepada Allah kapan saja.
Artikel ini telah tayang di
Koran.co.id
0 Komentar